Rabu, 17 Desember 2014

Mungkin Kamu Juga Pernah Lupa

Mungkin kamu juga pernah lupa,
Sehingga bukan saatnya lagi kamu marah-marah karena di lupakan.

Mungkin kamu juga pernah lupa,
Jadinya bukan butuh waktu lagi untuk diingat.

Mungkin kamu juga pernah lupa,
Dan memang seharusnya membiarkan mereka bersenang-senang.

Mungkin kamu juga pernah lupa,
Lalu di biarkan begitu saja mereka hidup dengan ingatan yang ada.

Mungkin kamu juga pernah lupa,
Seharusnya dari dulu kamu menatap cermin itu lamat-lamat.

Kamu terlalu sering lupa,
Tidak ada alasan lagi untuk menuntut apa pun.

Kamu terlalu sering lupa,
Memang sudah saatnya sadar diri.

Kamu hanya pelupa,
Mau menyalahkan siapa?

Rabu, 03 Desember 2014

Salah Paham ( Subali dan Sugriwa )

Subali dan Sugriwa


Namanya juga hidup, pasti pernah salah paham.

aku belajar dari tahta yang sering mereka banggakan,
sering melihat betapa rasanya indah memiliki tahta,
betapa kekuasaan menjadi keutuhan yang sempurna,
tapi tahta jelas seringkali menutup mata.

aku lihat dua orang itu,
Subali dan Sugriwa.
terkenal hebat dan sayang satu sama lain,
tapi 'sayang' itu hanya ada dulu sekali.

tahta menutup mata,
walau sebenarnya hanya salah paham.
tapi siapa yang mau tahu?
Subali pun tidak mau.

Sugriwa merasa memiliki tahta,
karena merasa Subali sudah pergi dari dunia,
tapi apa daya,
Subali datang langsung marah-marah.

harusnya ada penjelasan,
tapi terbutakan karena dipikir haus tahta,
jadi rasanya semua percuma,
yang ada malah perselisihan.

ribuan lelah menyeru dihati, 
sebenarnya ada rindu tentang damainya masa lalu,
tapi apa mau dikata,
'tahta' sudah menjadi topik utama.

lalu Subali mati,
meninggalkan sesal,
mengeluh betapa selama ini ia buta,
dan tersadar menjelang kematian.

Dan sekarang aku tahu...

hidup adalah hidup,
salah paham selalu menyelundup,
tapi kenapa harus sekarat dulu?
lagi-lagi cuma masa lalu.


Terinspirasi dari kisah Subali dan Sugriwa dalam kisah Ramayana

Aku merasa...

aku merasa... bahwa sebenarnya apa yang aku lakukan seringkali salah, aku melangkah pada hal yang aku kira adalah yang kusukai dan mampu aku jalani. Tapi, rasanya malah jadi berat karena beban hidup nyatanya masih akan ada mau tidak mau. Pertaruhan selalu menjelma menjadi keinginan dan kebencian, dan aku terbuai pada rasa keras kepala yang bahkan aku sendiri sulit membedakan apa itu mimpi dan obsesi.

aku merasa... menulis adalah cara paling mudah berekspresi, walau nyatanya masih banyak yang belum memahami. Tulisan-tulisan itu belum tentu selalu bisa selalu mewakili, tapi yang paling mampu membantu mencurahkan walaupun jadinya hanya tulisan cakar ayam tidak terbaca.

aku merasa... ada yang salah dalam pemikiran dan ideologi yang aku punya. Ternyata aku terlalu lama terlelap pada kisah yang aku pikir semua orang bisa dapatkan.

aku merasa... buat apa keramaian ada, kalau ternyata yang dirasa tetap rasa sepi. Mereka bisa asik tertawa, menunjukan betapa eksisnya mereka dalam kehidupan, sedangkan aku hanya mampu tertawa melihat diri sendiri yang mungkin lebih baik 'hilang' saja.

aku merasa... bahwa pertemanan akan sangat membantu dan menjadikan hidup lebih dari sekedar kata 'ramai'. Teman seolah menjadi kebutuhan, yang kalau tidak punya maka kau akan kesepian. Walaupun ternyata, terkadang beberapa teman adalah hal yang paling kau tidak sadari, yang ternyata harus kau 'lepas' dan buang jauh-jauh. 

aku merasa... rindu itu hal yang paling ingin aku hindari. Betapa rasanya hanya seorang diri yang merindu, sedang mereka asik menghabiskan waktu.

aku merasa... betapa topeng adalah hal yang paling pantas aku kenakan sekarang. Bukan menjadikan pura-pura baik, tapi pura-pura bahagia.

aku merasa... memang semua ada waktunya. Terlalu lama berkeiginan, terlalu lama bersenang-senang, terlalu lama hidup dalam ramai, terlalu lama merasa rindu, dan terlalu lama tidak menyadari kalau waktu akan berjalan, sehingga sekarang aku 'kesepian' melihat betapa sudah begitu lama aku tidak bercermin.

MARATAHON WAYANG ORANG DI WOSBI 2014!

Solo! Jangan tanya alasan kenapa mendadak berencana pergi ke SOLO? Tentu saja karena ada WOSBI 2014! Dulu waktu tahun 2011 enggak kesampean bisa nonton WOSBI, dan pernah berharap kalau acara ini ada lagi, dan… teng… teng…  teng… nyatanya memang adalagi. ALHAMDULILLAH. Awalnya berencana pergi sebenarnya sudah lama, tapi persiapannya bener-bener mendadak karena galau sama jadwal. Hehehe. Tapi memang sudah jalannya untuk pergi, dan berangkatlah ke Solooooo.



Baru sampai di Solo memang terasa cukup cape, tapi ternyata kebayar sama pertunjukan WOSBI yang menyajikan pementasan wayang orang dari kumpulan seniman wayang dari berbagai tempat. Bayangkan saja ada banyaaakk banget pementasan, dan acara ini pas banget buat penikmat dan pecinta wayang orang. Buat orang-orang yang baru mengenal wayang orang juga cukup pas, karena dari acara ini mereka diperkenalkan pada pementasan wayang orang, dan pastinya akan takjub melihat betapa pementasan yang dimainkan sangat menakjubkan dengan penyuguhan cerita dan tarian wayang yang indah, klasik, dan anggun.  Semoga yang baru mengenal wayang orang bisa terbuka mata dan hatinya bahwa pertunjukan wayang orang bukan sekedar pertunjukan biasa, tapi juga banyak sekali moral-moral kehidupan yang tertanam pada penceritaan. Mau bukti? Mending coba nonton langsung! :D



Hal segar yang ditampilkan WOSBI bukan hanya tentang pementasannya saja, tapi banyak juga anak-anak generasi wayang orang yang masih muda-muda yang ikut berpartisipasi dalam pertunjukan. Melihatnya saja sudah bikin kagum, masih muda tapi mampu ikut mempertahankan salah satu budaya Indonesia yang fenomenal ini. Rasanya mau peluk satu-satu para pemain muda itu, apalagi yang masih sangat kecil tapi sudah keren dalam memainkan peran. Aduuuh.. mau dibawa pulang aja. Hehehe. Beneran deh, penulis terharu banget betapa masih banyak generasi mudah yang masih mau tetap menjaga ‘identitas’ Indonesia dibalut budaya. Rasanya malu, karena penulis masih belum ada apa-apanya dibanding mereka.




Hari demi hari, pementasan demi pementasan yang dilaksanakan dari tanggal 13-16 November 2014 selalu mengesankan. Ada harapan semua acara seperti ini bisa terus ada sehingga pelan-pelan pun para pecinta wayang orang juga akan bertambah, dan semakin menunjukan bahwa wayang memang harus tetap hidup. Apalagi kemarin acaranya bisa dikatakan sukses! Wah… mudah-mudahan acara seperti bisa terus ada karena dengan adanya acara ini tentunya menunjukan eksistensi bahwa wayang orang masih berdiri tegak di era modern seperti ini. Berikut kutipan Bapak Ali Marsudi selaku ketua WOSBI yang di ambil dari “buku program” WOSBI 2014 yang menyatakan :

“ Agar jiwa kita bergetar… rasa kita tergugah..
 Semangat kita membara… hidup kita berwarna…
Rasa kemanusiaan serta jadi diri dan kemuliaan kita sebagai manusia tetap terjaga…
Maka wayang orang harus tetap ada…”


Kenapa beliau berbicara seperti itu? Yup, karena wayang orang harus tetap hidup di jaman yang modern ini. Wayang adalah sajian penuh makna yang kalau saja kita mau memperdalaminya, kita akan lihat betapa ada cerminan hidup yang bisa kita jadikan salah satu panutan. Bukan tentang melihat adanya seni dan keindahan yang tampak, tapi juga pelajaran hidup yang tersimpan dari setiap cerita, atau bahkan dari setiap tokoh-tokohnya. Oleh karena itu, yuk pertahankan warisan budaya ini! Salam budaya! Salam wayang!




foto : koleksi pribadi (maaf klo kurang bagus. maklum) ^!^

Rabu, 12 November 2014

Kau Hanya Butuh Satu Pelukan

Kamu hanya butuh diberi pelukan,
Ketika semua rasa membeludak menjadi amarah.
Ketika waktu begitu cepat berlari,
Sedang kamu terlelap pada langkah lambat-lambat.
Terlalu banyak beban yang kau rasa begitu memberatkan,
Walau nyatanya satu pelukan mampu membuka matamu,
Mengakui diri bahwa sebenarnya kamu tidak sendiri.

Kau bilang kau menanam rindu,
Yang sering kau maki karena tumbuh subur,
Padahal tidak pernah sekalipun kau beri air.
Dan sungguh  kau hanya butuh satu pelukan,
Untuk sekedar bersandar,
Walau akhirnya yang keluar adalah nangis meranamu.
Sesenggukanmu yang paling dalam.

Lalu kemudian kau menggumamkan lelah,
Membenci jalan yang sudah lama kau tapaki,
Memendam dendam pada diri sendiri,
Kau kesal setengah mati.
Tapi kemudian satu pelukan itu datang.
Mendadak kau lunglai tanpa daya,
Merasa hangat.

Sungguh, kau hanya butuh satu pelukan.
Untuk sekedar membungkam semua rasa ‘tidak terima’.

Jumat, 10 Oktober 2014

Aku Ingin Bicara

Aku Ingin Bicara. Mengenang betapa sinar rembulan bisa begitu indah, dan betapa besar keinginan aku untuk dapat berjalan seolah-olah merasa bahwa setiap langkah yang aku tapaki adalah rasa kagum pada gemerlap dimalam hari.

Aku ingin bicara. Matahari dipagi hari adalah kehangatan yang selalu ingin aku rasakan, selalu ingin aku genggam untuk tidak pernah pergi buru-buru.

Aku ingin bicara. Sungguh betapa besar rasa iri ingin bisa seperti mereka. Membandingkan diri sendiri dengan orang lain memang melelahkan, tapi aku ingin setidaknya mendapat suatu ‘semangat’ yang mereka miliki.

Aku ingin bicara. Kalau saja rasa percaya diri bisa dengan mudah dibeli, aku akan beli.

Aku ingin bicara. Ada gumpalan rasa kagum yang membuat aku begitu bergairah saat mereka bisa begitu percaya padaku.

Aku ingin bicara. Sungguh, aku benci cara mereka.

Aku ingin bicara. Mencintai karya sastra adalah keindahan penuh makna yang mendera seperti butiran-butiran Kristal dalam darahku.

Aku ingin bicara. Memberitahu bahwa itu sebenarnya salah, dan aku jelas punya kebenaran yang bisa aku tunjukan.

Aku ingin berbicara. Mengomentari perkataan-perkataan itu, mencari solusi, memberi solusi, dan mendapatkan jawaban dari apa yang aku komentari.

Aku ingin bicara. Mengeluarkan hak untuk berpendapat.

Aku ingin bicara. Rasa ini sungguh sedang tidak asik.

Aku ingin bicara. Memuji dengan tulus dan memberikan suatu kepuasan pada apa yang dia/mereka buat atau pikirkan.

Aku ingin bicara. Merayu untuk membantuku mencapai keinginan.

Aku ingin bicara. Aku begitu mencintaimu.

Aku ingin bicara. Ada desakan kerinduan yang begitu menggejolak.

Aku ingin bicara. Bibirku tidak pernah bisa benar-benar bergerak.


Aku ingin bicara. 

Minggu, 07 September 2014

MENYANGKAL



Siapa yang mau tahu. Siapa yang tidak mau tahu. Siapa yang sadar. Siapa yang tidak sadar.

Anggap saja ada yang menyentil, tapi sebenarnya kamu tidak peduli atau pura-pura tidak paham arti sentilan itu. Memutar-mutar kata dan mencoba menjadikannya tidak tampak dan bergelut pada blablabla yang kamu anggak ‘ah apa sih’. Seribu cara untuk berlari dalam pengungkapan, menyerang pada diri menggunakan logika ketidakmungkinan. Anggap saja semuanya basi, anggap saja semuanya nihil, dan anggap saja semuanya hanya tang ting tung. Kamu menyangkal.

Lalu kemudian ada yang datang, bertanya kepastian, bertanya ada apa tentang ‘itu’. Sedikit terdiam, tapi hidup terlalu membuatmu pintar untuk mengalihkan pembicaraan. Mereka terkecoh, tapi kamu mengecohkan diri sendiri. Ada senyum bangga yang menunjukan betapa hebat pengalaman yang memampukanmu menolak semua pemikiran, menolak bicara lebih terbuka, dan menolak dirimu sendiri. Bermain-main pada kata-kata yang kau yakini akan menipu mereka? Atau sebenarnya untuk menipu dirimu sendiri? Kau tertawa sambil menggelengkan kepala. Percaya tidak percaya, kemudian kau akan berdiri pada sudut gelap itu. Setelah hari itu.

Baiklah, anggap saja semua akan berlalu secepat yang kamu yakini. Hidup akan kembali normal dan jauh dari apa yang kamu anggap tidak ada itu. Kamu akan bersenang-senang, akan menyapa dengan riang, dan akan tersenyum pada pagi. Akan ada nafas baru yang membuatmu percaya bahwa hidup barumu telah tiba dan siap menyambut. Bersorak riang, dan kemudian berpesta pada malam. Lalu… lalu… kamu lupa bahwa malam adalah waktu tenang, bukan seharusnya untuk bersenang-senang. Sedikit ‘klik’ saat akhirnya kamu sadar tidak seharunya berpesta diwaktu malam. Dan kemudian terdiam, ketika tampak di keramaian malam itu datang sesuatu yang seharusnya kamu hadapi saat tidur. Menyergap. Kemudian kamu megap-megap.

Mendadak pertanyaan-pertanyaan dimasa lampau menyerbu. Kamu memaki sekeras mungkin dan tidak mau alasan lagi. Kamu butuh tempat kosong, tapi tidak menemukannya secepat yang kau mau. Ada kemarahan memeluk jiwa, menjadikanmu terhenyuk seketika. Ah, kamu mengeluh dengan kesal. Lagi-lagi bermain hanya pada kata ‘tidak mungkin’, ‘tidak percaya’, dan ‘apa-apaan ini’. Setelah itu menepi pada malam-malam berkepanjangan, mengikuti sinar seadanya yang kamu pikir akan menunjukan jalan yang selama ini kamu anggap tidak ada. Kamu melihat ‘itu’ tapi tidak mau berjalan kesitu. Mendadak kamu menggigil. Kamu lari tanpa jeda.

“ Hobimu apa sih? “
“ Mencari cahaya.”
“ Untuk hidup? “
“ Ya ”
“ Sudah kamu temukan? “
“ Belum “
“ Ah, kamu menyangkal “
“ Hahahaha.”
“ Hahahaha.”


BASI.

Jumat, 05 September 2014

Menemukan



Kamu pasti menemukan aku. Tidak pernah jauh-jauh aku pergi, dan tidak bermaksud apa-apa. Hanya berlari-lari kecil yang tadinya aku harap bisa membuatku sedikit bernafas. Bukankah sebelumnya kau sering bertanya, kemana aku akan pergi ketika aku ingin menjadi si penikmat diam? Seharusnya kau tidak perlu bertanya, karena aku tau kau akan menemukan jalan ke tempatku. Sebenarnya ini terlalu mudah, dan aku bukan ingin bermain teka-teki. Nyatanya aku hanya ingin ditemukan, tidak berpura-pura berlari karena aku memang suka berlari. Salahnya, aku sering tidak sadar ingin lari kemana tapi ternyata hanya ke tempat itu-itu saja. Bukankah seharusnya itu hal yang mudah? Dalam pedoman hidupmu, jauh dari kata ‘sulit’ bukan? Maka kau pasti akan bisa dan tentu saja menemukan aku.

Rasanya indah sekali menjadi yang ditemukan, seolah akhirnya aku juga menemukan orang yang mau membawaku pulang. Karena ketika aku menikmati diam, aku tidak pernah sekalipun peduli pada langkah yang aku ambil. Aku kesana kemari, lalu terduduk, lalu kesana, lalu entah kemana lagi. Kau sering menggelengkan kepalamu ketika menemukan aku, ada kata lelah disitu dan kemudian kau hanya ikut terduduk disampingku. Aku mau pulang saat itu juga, kau tertawa gemas seolah betapa teganya aku tidak membiarkan jeda untuk istirahat. Aku mana sempat terfikir kesitu, yang aku tau akan ada yang membawaku pulang. Aku mau pulang. Lama berlari, melangkah, dan pergi kesana kemari membuatku ingin segera pulang. Lalu kau beranjak, kemudian mengulurkan tangan meraih jariku. “ Mari pulang,” katamu kemudian menggandeng lenganku dan membawanya pulang. Akhirnya aku pulang.

Berkali-kali kau marah karena aku sering pergi begitu saja, tidak pernah mau menetap pada satu tempat pada waktu yang lama. Aku nyengir. Kau menggerutu. Aku tertawa kecil. Kau ngomel besar. Aku diam. Kau meraih lenganku dan menariku didalam pelukanmu. Disitu kau berbisik betapa lelahnya mencariku yang sering menghilang, dan betapa kau begitu mempertanyakan mengapa bisa begitu mudahnya aku melangkah pergi, berlari. Aku diam. Ada helaan nafas seolah kau coba mengerti, lalu begitu saja melepaskanku. Aku pergi. Berlari-lari bersama diam yang kini adalah penghangatku. Kau diam saja tanpa mengejar. Aku berlari semakin jauh, tidak peduli bagaimana nanti aku akan kehabisan nafas. Anggap saja aku lupa rasanya bernafas. Aku berlari, terduduk lagi, dan lalu berlari lagi.

Nanti, kalau lelah datang aku tidak perlu takut karena kamu akan datang. Menemukanku lagi. Mengantarku pulang.
Kalau ternyata tidak datang?

Baiklah, anggap saja aku punah. Selesai.

Sabtu, 23 Agustus 2014

Mohon Doanya... hehehe

Sedikit curhat...

Belum lama ini memutuskan untuk resign dari kerjaan untuk fokus sama hal lainnya ( mudah2an saja tercapai. aamiin.) dan sebenarnya bisa dibilang ini sebuah keputusan yang besar. Bagaimana tidak, melepaskan pekerjaan dan lingkungan yang sudah super asik adalah hal yang berat dan menyedihkan. Terlebih, melepaskan sesuatu yang sebenarnya bukan dengan tujuan pasti, hanya bermodal keyakinan bahwa terlepas akan membuat semakin fokus pada hal yang ingin kita capai. Semoga saja. Mungkin diawal terlihat sangat menyedihkan dan sangat hopeless, tapi balik lagi sama keyakinan dan percaya bahwa Insyaallah akan menemukan hal yang lebih baik lagi, dan intinya belajar lagi, daannnn semoga saja kali ini bisa mencapai hal yang benar-benar menyatu dengan hati tanpa lagi ada kata 'beban'. Semoga yang hadir setelah ini hanya ungkapkan " CAPE BUT I LOVE IT." AAMIINN.

Oke, lanjut saja... kalau ditanya kesibukan mungkin ini adalah jawaban dari kata yang seharusnya terungkap dengan kata " penyesalan" efek dari terlepas, but come on! this is life... I have my own decision dan apa yang terjadi dari akibat terlepas atau resign ya harus bisa diterima. Beberapa dari mereka mungkin menganggapnya manja, tapi ya memang agak manja kok. Alasan-alasan ringan sebenarnya yang membuat saya berkeyakinan untuk keluar dari kerjaan, tapi balik lagi bukankah alasan ringan yang bertumpuk adalah the real TROUBLE, jadi lebih baiklah saya memilih mundur. Konsekuensinya memang besar, jujur bukan masalah finansial yang jadi utama walaupun itu tetap jadi masalah, tapi lebih ke rasa malu karena akhirnya punya status PENGGANGGURAN ( ya, ini paling tidak enak didengar ), ada rasa seperti tidak bisa lagi membuat orangtua bangga, atau rasanya udah kayak orang yang enggak bisa ngapa-ngapain. Seriously, sometimes it makes me down so easily. Dan, terkadang ini membuat saya rasanya mau jauh saja dari semua orang yang saya kenal.

Semakin sensitif? tentu saja. Terlebih menanggapi orang-orang yang memandang sebelah mata tanpa mau mencari tahu, sudah muak banget denger pernyataan atau pertanyaan mereka. Biarlah. Hidup itu bener-bener kayak roda, dan posisi saya saat ini sedang enggak asik, tapi enggak berarti saya membencinya. Saya menerimanya, walaupun tentu saja dengan perlahan-lahan. Ada beban yang sebenarnya saya takut untuk dibawa, terlebih di lihat lagi apa yang mau fokuskan bukan hal yang biasa buat orang umum. Kebanyakan dari mereka berfikir saya suka main-main, dan tidak pernah mau menerima kenyataan. Kalau YA, bagaimana donk? terkadang saya memang suka bermain-main dan paling tidak suka menerima kenyataan pahit. Dan, ketika akhirnya saya memutuskan sesuatu, seringkali yang bermain adalah rasa keras kepala. Memang keras kepala itu kadang enggak asik, tapi kadang saya mikir juga kalau enggak keras kepala enggak ada yang namanya keinginan kuat. Ya, balik lagi... kalau enggak ada yang terima ya sudah, kan saya memang keras kepala.

Apa yang saya fokuskan? itu yang sering mereka tanya. Saya ingin fokus pada hal seni dan budaya. Bukan perkara mudah sebenarnya, apalagi kalau ditanya kedepannya mau jadi apa secara saya enggak punya keturunan seni atau bahkan bisa nari, nyanyi, atau main musik aja enggak bisa. See?? terlihat tidak meyakinkan sebenarnya. Tapi, intinya saya mau. Saya mau memperdalaminya. Bukan dalam hal apa-apa yang sudah saya sebutkan tadi, tapi benar-benar karena saya mau memperdalaminya. THAT'S IT. Dari seni dan budaya perlahan-lahan saya 'membaca' dan 'bercermin' bahwa ada  kehidupan dalam makna terdalamnya yang membuat saya merasa saya mau belajar tentang 'ini' jauh lebih dalam. Balik lagi keputusan berat, apalagi kalau orang-orang sok mau tahu itu mulai berpendapat. Terkadang, itu membuat saya lemah untuk minta doa agar dilancarkan sama tujuan saya ini, tapi saya memang nyatanya sangat butuh doa. Mungkin setidaknya dari tulisan ini saya berharap ada yang mendoakan saya.hehehe :)

Wah, sepertinya terbaca sekali betapa keras kepalanya saya. Biarin deh. Saya enggak minta apa-apa, tapi mungkin sedikit doa akan sangat membantu. Bukankah hidup adalah tentang kemauan? dan doa akan sangat membantu sekali. Mohon doanya biar impian saya 'memperdalam' bisa terwujud dan bisa saya kembangkan dengan lebih baik.
Mohon doanya supaya rasa keras kepala saya ini menghasilkan suatu yang baik.
Mohon doanya supaya selalu ada kebaikan dalam tujuan saya,
dan paling penting, mohon doanya....
Supaya saya, kamu, atau kami semua tidak mudah begitu saja menyerah.

Sekian cuap-cuap dari penulis galau yang mau curhat. Terimakasih

Rabu, 09 Juli 2014

Jangan Kau Terlalu Menutup Matamu. Berdoalah. ( PEMILU 2014 )

Surat Suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014


Jangan kau terlalu menutup matamu pada hal yang sebelumnya sangat kau tidak sukai. Sekedar saran. Biasanya, sebagai manusia normal kita memiliki berbagai macan hal yang sangat kita sukai dan juga ribuan alasan kita tidak menyukai sesuatu. Semua memiliki latarbelakang apa yang menjadikan kita menjadi menyukainya atau tidak menyukainya. Ada bermacam-macam. Seringnya, kita hanya terlalu fokus pada apa yang kita sukai, dan untuk sekedar menoleh pada hal yang kita tidak sukai menjadi suatu pergerakan yang malas. Anggap saja, ketika kita menyukai sesuatu akan ada rasa kesetiaan untuk tidak berpaling. Tapi, sadarkah mereka bahwa seringkali hal yang kita tidak sukai bisa jadi adalah hal yang baik, atau kalaupun buruk, bukankah kita masih punya doa?

Mari kita ambil contoh dari pemilu 2014 yang saat sedang maraknya di Indonesia, khususnya ketika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Siapa yang sangka bahwa pemilu tahun ini bisa jadi sangat begitu mencengangkan dan ‘ramai’ dalam banyak hal. Semua punya idola masing-masing, punya alasan, dan terkadang malah beberapa dari mereka menyukai salah satu calon karena ada hubungan keluarga, saudara, dan kerabat dekat, atau terkadang malah ada juga yang berpihak karena ikut-ikutan. Ada derai semangat menggebu dari sanubari untuk mendukung apa yang kita sukai yang tentunya kalau dalam hal ini adalah apa yang kita pilih untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden nantinya. Seru sekali bukan yang seringkali kita lihat di media? Begitu marak dan masing-masing memiliki alasan yang kelihatannya begitu kuat mengapa mereka mendukung salah satu calon. Tentu saja itu semua ada baik dan buruknya.

Mari bahas dari baiknya. Pemilu menandakan akan adanya jaman perubahan baru, yang tentunya kita harap akan menjadi masa yang lebih baik dari sisi apapun. Semua rasa ‘kehilangan’ dari apa yang kita miliki dahulu bisa pelan-pelan kita salurkan kepada pemimpin yang baru tersebut, dengan harapan akan ada ‘telinga’ baru yang mau mendengar. Kebanyakan dari mereka selalu memiliki harapan baru dengan adanya pemilu, berharap juga kesemuan cepat berakhir dan tidak lagi tertunda begitu lama. Kehidupan seolah menjadi lebih semangat, menjadi menggebu-gebu menantikan hari yang baru. Sorak sorai para pendukung menegaskan bahwa mereka ingin kehidupan yang baru, ingin kemajuan yang lebih meningjat, dan ingin semuanya menjadi berarti. “ Mari dukung pemilu 2014, dan tidak golput demi perubahan Indonesia yang baru,” Itu adalah ajakan demi perubahan dari bibir yang penuh impian.

Sayangnya, hal ini juga tidak jauh dari berbagai macam sisi negatif dan buruknya. Terlalu ‘semangat’ seringkali menjadi hal yang sangat menyayangkan untuk di simak. Banyak dari para pendukung salah satu calon berusaha sebisa mungkin agar semua orang tahu bahwa pilihannya adalah benar, bahwa pilihannya adalah idola untuk masa depan, dan untuk calon yang satunya lagi bukanlah pilihan yang baik untuk di dukung. Entah harus terhitung berapa cara untuk saling menjatuhkan, untuk saling mengingatkan kepada masyarakat bahwa calon yang tidak mereka dukung memiliki masa lalu yang buruk, dan ada juga yang terkesan seolah haus kekuasaan. Begitu banyak berita di edarkan melalui media betapa cacat, dan tidak ‘bersih’nya calon dari masing-masing dari mereka yang tidak mereka dukung. Fakta dan pendapat sudah sangat sulit dibedakan. Semuanya buta pada ‘cinta’ yang sudah mereka tanam. Bisa dikatakan, hidup mereka sudah menjadi sangat subjektif. Cacian, makian, pujian, ataupun penghargaan sudah tidak bisa bandingkan lagi. Mereka bisa begitu saja mencaci, memaki, memuji atau bahkan memberikan penghargaan.

Apapun itu, keputusan akan hadir memberi jawaban. Derai haru, senang, marah, dan muak akan menyaru jadi satu tanpa bisa di lihat lebih dalam lagi. Mereka yang merasa menang tentunya akan sangat bangga,seolah apa yang mereka cintai memang pantas untuk menjadi yang nomor satu. Kemudian beberapa dari mereka yang merasa kalah, akan menatap sinis seolah merasa bahwa ada kesalahan dalam keputusan. “ Menerima “ bukan hal yang mudah untuk mereka yang kalah. Seringkali bahkan mereka berfikir, “ mau jadi apa negeri ini jika di pimpin oleh pemimpin seperti itu? “, “ hancurlah negeri ini dengan pemimpin seperti itu”. Dan mereka yang merasa menang akan berseru bahwa negeri ini sudah siap untuk kehidupan yang lebih baik, dan harapan mereka seolah sudah didepan mata. Namun, bukankah pada kenyataannya kita masih belum tau apa yang akan terjadi di masa depan? Apa yang menang selalu menjadi yang terbaik? Dan yang kalah memang pantas tersingkir karena bukan pilihan yang baik? Coba didalami.

Intinya, suatu penerimaan yang baik adalah poin penting disini. Menjadi di sisi menang atau kalah bukan hal yang penting. Kehidupan negeri ini adalah milik bersama, dan tentunya dalam genggam bersama. Menutup mata pada hal yang tidak kita sukai bukan hal yang menguntungkan. Buka MATA anda pada semua hal. Menyesali dan memaki hanyalah kesombongan berupa angan. Bukankah masing-masing dari kita masih bisa berdoa? Apapun hasilnya, apapun jawabannya, dan siapapun yang terpilih nantinya, kita masih bisa sama-sama berdoa. Terkadang kita terlalu berfikir jauh, dan lupa bahwa kita masih bisa berdoa, masih bisa berharap dalam diam dari hati yang selalu berdoa untuk kebaikan. Kalaupun nantinya yang tampak adalah hal yang tidak baik, bukankah berdoa dapat membantu kita untuk membenarkan jalan yang salah? Kau, kita, dan mereka selalu punya harapan dalam doa, dan tindakanmu untuk membuka mata lebih luas akan menguatkan doa. Berdoalah.


Nb : untuk mereka yang mencintai perubahan, tapi tidak pernah ‘menutup mata’.
note : gambar didapatkan dari google

Selasa, 08 Juli 2014

Sinta Menanti...

DEWI SINTA


Tidak pernahkah kau lihat aku duhai Rama,
menanti sabar disini,
dalam iming-iming kebahagiaan,
tanpa cacat keindahan,
tanpa goresan pada kulit,
tanpa harus menata dengan lelah.

Aku terlalu lama berdiri pada taman keindahan,
tapi semuanya tetap semu tanpa kamu,
aku seperti buta pada seluruh pandangan,
karena yang aku impikan hanya matamu,
dan berharap agar penantian ini cepat berakhir.
Aku jelas memendam rindu begitu dalam.

Mengapa harus begitu lama,
mengapa harus begitu terasa sepi,
mengapa rembulan terus kelabu.
Aku sudah mematung begitu lama disini.
Kau dimana?
Aku tidak pernah tahu.
mencariku kah?
Aku selalu berharap begitu.

Cepatlah datang, Rama.
Genggam tanganku dan segera kau bawa aku pergi,
Lihatlah, betapa aku nyaris kekeringan disini.
Aku dehidrasi.
Bagaimana mungkin semua bisa terasa begitu semu?
Sedang penantianku tak lalu-lalu.
Kau begitu lama.

Minggu, 06 Juli 2014

SUMPAH (II)



Lesmana



Aku bersumpah, dan itu akan memperkuatku untuk tidak melanggarnya. Hidup adalah tentang kepercayaan. Sumpahku adalah pendirianku, yang nantinya akan mendarah daging dalam tubuh dan aliran darahku. Percaya atau tidak, ini hanya masalah waktu. Aku benci bersumpah, tapi aku harus melakukannya. Mendapatkan kepercayaan adalah suatu kebutuhan dalam hidup, dan itu adalah yang seringkali mengekalkan untuk melupakan keinginan manusia, khususnya pria seperti seperti aku. Hal kecil membuatku harus bersumpah, demi hilangnya suatu prasangka yang buruk. Jangan kau bertanya lagi duhai Sinta, aku sudah bersumpah. Jangan lagi kau menangisi apa yang baru aku ikrarkan. Ketidakpercayaanmu membuatku dirundung ketakutan pada hidup. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadinya nantinya. Sumpah ini adalah bukti nyataku dari bibir yang terucap, yang nantinya akan menahanku pada masa depan yang sama sekali tidak ku ketahui. Sumpah adalah ikatan yang seharusnya tidak boleh terputus, dan oleh karena itu aku bersumpah. Mereka boleh berduka, atau kau juga ikut berduka, tapi hatiku jelas lebih berduka. Lidah sudah bersuara, bumi sudah mendengarkan, dan Sang Pencipta sudah mencatat. Biar sumpah ini memendam dalam seluruh jiwa dan raga. Sampai matipun aku akan tetap bertahan pada sumpah ini. Pada sumpah yang aku tau artinya adalah kesepian. Aku tidak akan pernah tau masa depan, tapi aku akan selalu tau sumpahku. Kalau nanti aku melanggar, sungguh hanya biarkan sang Pencipta yang menghukumku. Jangan kau tatapi aku dengan rasa menyesalmu, duhai Sinta. Melihatmu yang panik saat itu, melihat ucapan ketidakpercayaanmu, melihat bahwa seorang titisan sang Dewi begitu ragu pada amanah perlindungan yang harus kuberikan, maka dari situlah aku bersumpah. Aku tidak akan pernah menikah. Bukan karenamu, tapi karena tatapan matamu yang walaupun dalam sekejap tapi begitu terlihat. Kau tidak benar-benar percaya padaku. Aku sudah bersumpah. Kini,  biarkan aku yang nantinya akan terhanyut dalam perang besar yang selalu diderai rasa sepi.

( Terinspirasi dari  sumpah Lesmana untuk Sinta )

Jumat, 04 Juli 2014

SUMPAH

Kamu boleh menunggu terlalu lama, tapi jangan gunakan sumpahmu untuk menungguku sampai mati. Aku tersiksa pada dirimu yang menantiku. Bukan bibirmu yang mengatakan akan menungguku, tapi matamu jelas berkata-kata seperti itu. Penantianmu sampai mati, jelas itu yang benar-benar kau mau. Aku menyesalinya, untuk sekedar kau tahu. Aku menyesali sumpah lamaku. Sumpah bahwa aku tidak akan pernah menikah seumur hidupku, dan akan mati diwaktu disaat apa yang aku aku inginkan tercapai sudah. Sayangnya, sumpah itu ada sebelum akhirnya aku bertemu denganmu, dengan mata yang bersumpah akan menungguku diakhir hidupmu sebelum memejamkan mata dan benar-benar pergi. Tidak ada daya lagi untuk membangunkanmu. Aku bukan Tuhan. Aku hanya Bhisma. Aku bersumpah menyesali semua sumpahku. Kalau saja waktu itu tidak bertemu dengan kamu, kalau saja saat itu kau tidak bersujud memohon-mohon padaku, dan kalau saja benda tajam itu tidak tertarik begitu saja menghabisi nyawamu dalam hitungan detik, semuanya pasti berbeda. Ribuan maaf macam apa yang bisa aku ungkapkan? Sedangkan sumpah selalu menjadi tembok kuat untuk bertahan. Kumohon, tenanglah kau disana, lupakan sumpahmu. Aku tersiksa sekaligus kehilangan. Butuh berapa lama agar aku ikut mati dan bertemu dengan kamu? Sumpahku masih bertengger kuat disana. Aku mohon Amba. Sumpah dalam tatap mata adalah penyiksaan terberatku. Tenanglah disana. Atau, tunggulah aku disana tanpa harus menghitung waktu.

( Terinspirasi oleh cerita wayang Bhisma dan Amba dalam kisah Mahabharata )

Rabu, 18 Juni 2014

Takut Gelap

Kau eratkan lagi selimut itu,
Merapihkan mimpi-mimpimu
Mereka sering bilang kau tidak pernah terbangun,
Dan kau nyaris terjatuh memikirkannya.
Mendadak kau menjadi begitu takut gelap,
Tapi beberapa menyarankan kau melihat matahari,
Dan tentu kau melihatnya,
Tapi tidak merasakan cahayanya.

Kau mencoba berlari ke ujung jalan itu,
Mereka sering bilang itu buntu,
Bahkan sering bertanya,
“ Apa maumu, apa tujuanmu?”
Kau diam seolah kau bisu.
Kau masih ingin merapihkan mimpimu.
Ujung jalan itu tetap kau cari.

Lama kau tersesat,
Kau sibuk menerawang,
Sibuk bergulat dengan semua daftar mimpi.
Tapi kau selalu takut,
Lagi-lagi kau takut gelap akan datang mendekap,
Dan mereka hanya bisa bilang,
“ Mungkin saja.”
Seketika itu juga kau hanya ingin tertidur begitu lama.
Ada jalan yang kau pikir adalah jawaban,
Kau melangkah begitu pelan,
Lagi-lagi takut menemukan gelap.
Matamu sengaja kau pejamkan,
Belajar menjadi buta sering kau pikirkan,
Tapi bukan itu intinya.
Kau hanya takut melihat nyata.

Namun sepasang bidadari datang begitu saja,
Berbisik pelan padamu,
“ Niatkan yang baik, karena selalu ada doa terbaik.”
Setelah itu kau tertidur,
Kau Nampak begitu lelah,
Sedikit merasa takut,
Tapi berjanji aku terbangun.
Berjanji melewati gelap.

Minggu, 06 April 2014

Dalam Rindu Banowati



Kau boleh pesimis, tapi  bukan berarti kau menjadi sinis,
Kau boleh mengiris, tapi tidak harus mendesis
Kau boleh menangis, hanya jangan pernah  dramatis
Kau diharuskan mengais, tapi bukan menjadi pengemis. 

===========================================================


Dalam Rindu Banowati...


Dalam langkah anggunnya, wanita dengan keanggunan tanpa ragu menangis tersedu memandang bulan yang selalu tampak sendu. Berharap waktu kan mudah ia jelajahi tanpa rasa gundah yang membelokan langkahnya. Ini bukan tentang bagaimana seharusnya ia mengabdi, ini tentang bagaimana hatinya yang sulit melampaui batas rindu kepada purnama yang tak pernah begitu saja berlalu nyaris di setiap malam. Banowati bukan ingin mengeluh, tapi hatinya jelas bersenandung luruh. Ia jelas-jelas merindu, tapi purnama selalu didekati kabut, dan Banowati tak pernah mampu menyingkap kabut karena untuk melewati pagar berpenghalang tak terkunci itu saja ia tidak pernah sanggup. 


Ada kesadaran yang Banowati sadari, nyata yang selalu merangkul dirinya dan seolah-olah membangunkan dari rasa lelap bahwa ia tidak boleh lama-lama menetapkan rindu. Menyadari atau tidak menyadari tak pernah ia benar-benar pastikan. Pernah ada rasa gigil  yang Banowati ingin segera lepas, tapi sungguh purnama yang tampak dekat itu seperti selalu melingkup pada asa atau sepi kala sunyi disetiap malam. Purnama berkabut diatas sana adalah hal yang selalu Banowati nantikan,  sekedar untuk diratapi dan tanpa di berikan isyarat atau bahkan  tersentuh dengan tangan halus selembut kapas. Ia mengagumi purnama dengan setia pengabdian yang tak pernah boleh terucap. 


Ikatan yang tertanam pada langkah Banowati bukan penghalang yang seharusnya melenyapkan mimpi, karena sekuat apapun itu masih dapat terlepas atau sekedar dibiarkan tergeletak dan dienyahkan. Namun ia bukan pengingkar janji, bukan pula ingin menjadi penanam kebencian. Situasi seolah tidak pernah mau berpihak padanya, dan pilihan selalu menjadi sebuah dilema yang menggiringnya untuk menetapkan langkah yang sering ia bilang “salah”. Ia hanya mampu terduduk seperti meratapi, menggenggam janji nyata yang tidak boleh diingkarinya, dan bertumpu pada prinsip yang mau tidak mau dipertahankan. Menjadi dewi seorang Prabu yang hanya mampu memandangi rembulan dari singgasananya. Dari tempatnya yang paling gelap. Sunyi. 


Pernah ia mencoba mencari-cari, menggali dan menemukan apa yang sebenarnya hilang, tapi sungguh jawaban tidak pernah mau begitu saja datang. Ia benar-benar mencoba, untuk menetap pada kenyataan yang tak diinginkan. Bukankah hidup tentang nyata yang harus dihadapi? Itu berkali-kali yang selalu ia tekankan, walau jelas-jelas tampak air matanya menggenang di pelipis matanya yang indah seperti teratai yang menggenang pada air tenang tanpa suara atau hanya sekedar bisikan. Sungguh bukan ingin menyerah atau pasrah pada janji yang sudah terlanjur terucap. Ia hanya sadar diri , lalu begitu saja berdiam diri. Banowati berdiri pada kursi megah kenyataan, bukan ingin menangis, tapi lebih ingin memahami diri. 


Rasanya begitu saja orang merindu,
menelan pahit tertahan tanpa penawar,
dan berbalik pada kenangan masa lalu,
saat menjadi bintang mendampingi purnama.

Bukan menangisi atau menyesali,
tapi rindu menyergap begitu saja,
dan ia bukan lagi bintang,
hanya jelmaan si penikmat purnama.

Dan hanya purnama yang tertanam,
yang terang tanpa bersinar,
tapi dalam tersimpan,
yang hanya ada dalam gelap.

Tidak ada yang melarangnya merindukan purnama,
tapi kenyataan menahannya untuk terucap,
menderai bagai debu pasir tak tergenggam,
tersimpan sebagai purnama.

Sebagai Arjuna.

Aku 'Kumbakarna'



Jika aku melangkah, maka sudah pastilah akan kemana
Langkahku lebar-lebar dan melebihi langkahmu,
Berlaripun tak akan kau mampu mengejarku,
Berpuluh kali lipat kau berkata lelah, itu baru satu langkahku,
Jangan pernah kau heran,
Atau bertanya ribuan kali,
Tak akan ada guna,
Aku adalah pelangkah besar, dengan badan besar,
Aku Kumbakarna. 


Mereka bilang akulah adik penguasa Alengka,
dan 'Ya' aku akan menjawab lantang,
Cintaku jelas untuk negeriku dan itu tentu Alengka,
Cukup jengah aku mendengar mereka,
Menghina Alengka seburuk pikiran mereka,
Terhuni oleh begitu banyak raksasa,
dan aku memang dari salah satu raksasa,
Lalu mengapa? 


Kalau mereka tanya apa yang paling aku suka,
maka aku akan menjawab 'tertidur',
dan aku akan biarkan mereka tertawa.
Bukankah ini memang lucu?
Aku sendiri menertawakannya.
Dan tawaku sungguh sangat lantang.
Dapatkah kau mendengarnya?
Kuharap “YA”. 


Mereka bilang aku salah mengabdi,
bahkan sebagian dari mereka berkata aku salah jalan.
Peduli apa? Mereka tau apa?
Yang aku tau bahwa aku mencintai Alengka,
dan aku tidak pernah benar-benar bilang
aku mendukung Rahwana.
Kali ini aku akan balik bertanya,
“Kau tau apa tentang mengabdi?”
Anggap saja aku bertanya sambil tertawa. 


Bukan ingin memaksamu memahami situasi,
tapi inilah aku,
Si raksasa yang bernyali besar,
aku relakan kematianku demi mengabdi,
Untuk Alengka. Tentu saja hanya Alengka.
Sudah cukup aku mendengar kau berprasangka,
Aku Kumbakarna, mengabdi untuk Alengka.
Kau?