Kamis, 20 Juli 2017

Menyapa Arjuna

HAI ARJUNA,
Aku menyapamu sekali lagi,
Tidak akan berlama-lama kali ini,
Karena ini untuk terakhir kali,
Setelah berlama-lama menyadari

Mungkin aku bukan Srikandi,
Dan kau bukan Arjuna,
Tapi biarlah kita terkenang,
Bahwa kita pernah mengaku wayang.

Biarkan masa lalu berlalu,
Setidaknya aku tau,
Mungkin kita tiada lagi kan menyatu,
Semoga hilang rasa rindu dan sendu.

Biar kini terakhir aku menyapamu,
Sebagai Arjuna yang lalu,
Yang esoknya kau kan berganti,
Tiada lagi menjadi Arjuna yang kunanti.


Sungguh aku sudah menyadari.
Meski dalam sekali masih ada harap.
Semoga kita tahu,
atau sama-sama menyadari,

kemana akhirnya langkah ini?

Rabu, 10 Juni 2015

Mengapa Merah itu Marah

Apalagi yang terucap selain merah,
Selain rasa yang membara,
Atau keinginan terlampau tinggi,
Yang meronta ingin didengar.
Mereka bilang itu cinta,
Yang terungkap seperti marah.

Ada merah yang merana,
Tersipu pada mata saling terpadu,
Terbuai seperti hangat rembulan,
Rasanya bagai didekap rindu,
Hanya mengapa begitu lama merana,
Begitu sunyi dalam semu,
Sedang api itu membara terlalu dalam.

Selalu ada nyala pada merah,
Ingin berbangga pada api merah merona,
Terlampau kuat dalam mimpi meraih merah,
Sampai lupa sudah menjadi merah,
Apa itu marah pada merah api,
Seringkali terlewat pada kelembutan merah,
Kenapa merah itu marah,

Kalau membaranya untuk si merah delima.

Sabtu, 21 Februari 2015

Nantinya Kamu akan Tertawa

Nantinya pasti kamu akan tertawa,
bahwa masa lalu hanya sebuah cerita,
untuk sekedar di kenang,
untuk sekedar dipahami,
karena nyatanya hanya sepenggalan kisah lama.

Akan ada tawa renyahmu yang berpangku heran,
betapa ketidakberdayaanmu begitu melelahkan,
seolah menyudutkan pada sisi tergelap,
meninggalkanmu seperti si kesepian yang merana,
walau sebenarnya hanya risauan tanpa makna.

Biarkanlah kesedihan menjadi abu di tiup angin,
ketika rindu sudah seharusnya dihempaskan,
buat apa lagi meratapi,
nantinya kamu akan tertawa,
mengingat bahwa kamu pernah merana.

Lagi-lagi kamu akan tertawa,
sadar bahwa hidup penuh warna,
bahwa luka butuh obat begitu lama,
karena sudah terlalu lama diam,
terlampau jauh mendendam.

Kamu hanya lupa makna,
tidak sadar pada rasa,
selalu merasa lelah,
terselimuti  perasaan resah,
nantinya toh kamu akan tertawa.






Jumat, 16 Januari 2015

'KARNA'



Ia biasa di sebut sebagai ‘Karna’.
Kalau kau tanya apa yang ia suka,
Maka ia akan jawab dengan hening.
Ia selalu suka apa yang kau bicarakan.

Tidak pernah mengeluh untuk sekedar mencermati,
Mendengarkan tanpa perlu pakai hati,
Tanpa pernah mengeluh atau pun merasa lelah,
Selalu siap kapan pun kau mau bicara.

Segala kesedihan, kebahagiaan, risau, galau, rindu,
Dan semacam pembicaraan apa pun tetap ia di situ.
Tidak pernah pergi kemana-mana,
Bahkan kau sebut dalam hati pun ia sudah ‘ada’.

Jangan tanya tentang “kesabaran”,
Karena nantinya malah kau diberikan cermin.
Cukup bicara apa pun yang kau ingin.
Ia kan tetap ada walau dalam diam.

Sampai nafasmu megap-megap ia akan tetap ada,
Mendengarkanmu.
Sekedar mengetahui bisikanmu yang kelelahan setengah mati,
Menjadi yang tak pernah bisa bicara untukmu.

Kau tau ‘Karna’?
Dalam pewayangan ia adalah anak Kunti.
Kau tau?
Ia seringkali diartikan sebagai ‘telinga’,

Karena dilahirkan melalui telinga.

Senin, 12 Januari 2015

Coba Kau Curahkan...

Coba kau curahkan apa yang tertanam itu,
Jadikan itu amarah,
Apa kau nantinya akan puas?
Apa kau nantinya akan berteriak senang?
Nyatanya kau malah semakin terpuruk.

Kau tidak mau jatuh,
Tapi kenyataan membuatmu harus terjatuh,
Terombang ambing dalam air keruh,
Bukan sinar lagi yang kau cari,
Melainkan bayanganmu.

Awalnya kau sudah terbang begitu tinggi,
Tapi kau jelas hanya layang-layang.
Kau punya batasan,
Kau punya tali yang akan segera menarikmu kembali,
Kau kesal setengah mati.

Akhirnya kau menyerah,
Mendalami lautan tanpa peduli apapun,
Kau hanya ingin terbawa arus,
Hilang dari peradaban,
Walau nyatanya kau malah kembali pada daratan.

Kau berteriak marah,
Memaki-maki pada pantulan cermin,
Lalu begitu saja kau telentangkan tubuh,
Membiarkannya mati kekeringan,
Tapi nyatanya kau tetap hidup.

Lalu kau terisak,
Entah ingin menangisi apalagi,
Yang kau tau cuma diam,
untuk tetap bertahan,
dalam bisu terlampau sunyi

Selasa, 06 Januari 2015

'DIA'

Waktu tidak akan pernah cukup untuk mengenal siapa Dia. Semua orang tau hanya dari apa yang terlihat dan namanya memang “Dia”. Wajahnya bisa kau bayangkan sendiri, rupanya, tinggi badannya, postur tubuhnya, atau cara marah dan tertawanya bisa kau lihat sendiri saat melihatnya. Dia senang sekali berputar-putar mengarungi waktu, bersenang-senang atau bahkan menangis tersedu-sedu yang seringnya berada dalam gelapnya sepi. Dia benci sekali dengan tatapan-tatapan orang yang memandangnya dengan remeh, walaupun kenyataannya Dia merasa pantas sekali diremehkan. Sering merasa seperti orang ‘cemen’ yang tidak mampu bertindak apa-apa dan kerjaannya hanya diam. Terkadang kagum pada dirinya yang bisa membuat bangga orang-orang terdekatnya. Rasanya selalu ingin bisa menjadi yang dapat diandalkan, tapi kemampuan dan kepercayaan diri malah lebih mampu membuat langkahnya mundur. Walaupun tidak sedikit pula Dia mampu menunjukan kehebatannya, tapi nyaris tidak pernah percaya bahwa ‘hebat’ jelas ada dan tertanam dalam dirinya.

Menatapi cermin adalah hobinya yang paling rutin dilakukan, menyisir, atau sekedar merapihkan apa yang terlihat dan dirasa kurang berkenan. Lagi-lagi dia kesal sekali dengan tatapan-tatapan itu, karena hanya karena merasa perlu menjaga tatapan-tatapan mereka Dia menjadi harus menata dan berkaca terus menerus. Rasanya menyedihkan menghabiskan sebagian besar hidup dengan berkaca, tapi di satu sisi Dia sadar bahwa dengan menatap cermin akan terlihat mana yang harus di rubah atau bahkan dirapihkan. Lelah, ribuan kali bergumam, berteriak, menangis, atau tertawa di atas kata lelah sama sekali tidak menjadi penghalang hidup. Nyatanya Dia masih tetap hidup di atas kelelahan, dan terus menerus berhadapan dengan cermin di setiap sudut jalan yang di lewatinya, bisa di gedung-gedung tinggi, toko-toko pinggir jalan, bioskop, dan paling banyak jelas di kamar mandi.

Ada saat Dia merasa bertemu dengan seseorang yang penting dalam hidupnya, yang mampu menggenggam dengan kehangatan dan kesejukan samudra dalam deburan ombaknya. Rasanya begitu tenang. Dia mulai sering merasa takut kehilangan, seolah dengan tangan itu cermin bisa menjadi nomor dua, dan hatinya tidak pernah berhenti berdebar walau hanya sekedar duduk berdua. Rasa yang membuatnya mampu terbang dalam kebahagiaan dan menggigil karena sesenggukan dari tangis rindu, kecewa, dan amarah. Seolah ada kesempurnaan karena merasa lengkap, walaupun pada kenyataannya tetap ada sisi ketakutan-ketakutan karena rasa ‘hilang’,dan itu tidak selalu benar-benar terlihat. Dia hanya sedang jatuh cinta.


Jangan pernah bertanya sekalipun apa yang sebenarnya Dia inginkan, karena kau akan kelelahan mendengar begitu banyak mimpi, dan kenyataan bahwa begitu banyak yang tidak terwujud. Cukup kau, mereka, dan kalian yang selalu menemani Dia dalam hidupnya, itu adalah harapan paling besarnya yang tersembunyi dalam sunyi. Dia bukan pujangga yang mampu menciptakan kata-kata dengan bibirnya, tapi tulisannya jelas mengungkapkan semuanya. Kalau ditanya sifat yang paling mencolok dari dirinya maka kau akan temukan tanpa harus mendengar dari bibirnya. Dia sangat keras kepala. Tolong temani orang bernama Dia itu, walaupun ada tawa dan senyum, jelas Dia selalu merasa kesepian. 

Siapa Dia? coba ambil cermin:P

Minggu, 04 Januari 2015

Mendalami 'diam', dalam " Cupu Manik Astagina " oleh Drama Wayang Swargaloka

Jangan pernah bertanya tentang ‘diam’ nya seseorang ketika dia memutuskan diam, kalau kau sudah memilih diam maka semuanya menjadi keras dan beku. Jadilah ia seperti tugu dalam penantian yang terbuai oleh diam.



Pertunjukan Swargaloka belum lama ini yaitu pada tanggal 21 Desember 2014 sangat berkesan, bagaimana tidak? Kita di sajikan tentang suatu kisah sebelum Ramayana ada. Tentang bagaimana yang menjadikan Subali, Sugriwa, dan dewi Anjani menjadi satu sama lain yang berkaitan dalam penceritaan Ramayana nantinya. Jangan tanya bagaimana kisah ini sebenarnya, tapi ambil makna yang sudah tersaji, mencari lebih dalam karena keinginan terdalam, dan belajar dari kisah. Penulis sendiri butuh waktu yang bisa di bilang lumayan lama mencari-cari atau bahkan menggali makna yang bisa penulis jadi acuan untuk di ambil hikmah dan sisi mana yang membuat penulis paling terkesima, dan ternyata tentang ‘diam’ nya dewi Windradi.

Sebagian pecinta wayang pasti sudah tahu secara umum bagaimana kisah ini, tentang hadiah bernama Cupu Manik Astagina yang di berikan oleh Dewa Surya kepada sang Dewi Windradi yang kemudian di berikan oleh anak perempuan satu-satunya yang bernama Anjani.  Memang hadiah dari dewa selalu menyenangkan hati, dan Anjani merasakannya. Begitu memujanya hingga Anjani terlupa bahwa ada kedua kakaknya yang memperhatikan, yang kemudian mempertanyakan apa di balik genggaman Anjani yang tertutup rapat itu. Waktu tidak berdaya lagi, terbongkar apa yang di simpan oleh Anjani sehingga mengakibatkan adanya pertemuan keluarga yang di kepalai Resi Gotama  mempertanyakan tentang hadiah tersebut.

Anjani tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan berhadaplah dewi Windradi yang kini bertanggungjawab tentang hadiah tersebut. Namun, di pilihnya ‘diam’ sebagai jawaban. Berkali-kali desakan untuk menjawab tidaklah membuka rahasia terpendam sang Dewi.  Kemudian, jadilah dewi Windradi menjadi sebuah tugu karena amarah sang Resi. ‘Diam’ nya sang dewi adalah rahasia penuh makna yang tidak ingin di ketahui kedalamannya.



Entahlah, pertunjukan ini membuat penulis terkagum-kagum oleh arti ‘diam’. Ini bukan tentang diam yang tidak bersuara, tapi suara yang menjadi ‘diam’ atau kalau mau di maknai lebih umum adalah rahasia yang tersimpan rapat. Dari sini penulis sadar betul bahwa memang sudah sewajarnya setiap manusia selalu punya rahasia yang tidak bisa mereka ungkapkan. Seluas apapun pembicaraan, selalu ada makna ‘diam’ yang tersembunyi dalam sunyi. Dan, “tugu” adalah contoh rahasia yang tak terungkap, termaknai oleh kerasnya diam terjaga rapat.




Dari pertunjukan ini, penulis senang sekali memaknai ‘diam’ dan kata “tugu” itu sendiri. Kembali lagi pada penceritaan cerita ini sebenarnya banyak sekali mengandung makna bukan? Ada “tahta” atau “keindahan yang di perebutkan” kalau ingin mencari lebih dalam. Tapi, penulis sangat mengidamkan makna tugu dewi Windradi. Sebenarnya, bukan tentang apa yang teesembunyi di balik itu, tapi suatu nyata bahwa memang manusia selalu punya tugu dalam dirinya masing-masing. Selalu ada rahasia yang menjelma menjadi ‘diam’. Dan, pertunjukan drama Wayang Swargaloka ini menyajikannya begitu mengena di hati para penikmat wayang yang hadir. Menginspirasi tentang ‘diam’, luar biasa bukan? Karena kalau sudah memilih ‘diam’, dunia pun akan ikut ‘diam’.