Minggu, 07 September 2014

MENYANGKAL



Siapa yang mau tahu. Siapa yang tidak mau tahu. Siapa yang sadar. Siapa yang tidak sadar.

Anggap saja ada yang menyentil, tapi sebenarnya kamu tidak peduli atau pura-pura tidak paham arti sentilan itu. Memutar-mutar kata dan mencoba menjadikannya tidak tampak dan bergelut pada blablabla yang kamu anggak ‘ah apa sih’. Seribu cara untuk berlari dalam pengungkapan, menyerang pada diri menggunakan logika ketidakmungkinan. Anggap saja semuanya basi, anggap saja semuanya nihil, dan anggap saja semuanya hanya tang ting tung. Kamu menyangkal.

Lalu kemudian ada yang datang, bertanya kepastian, bertanya ada apa tentang ‘itu’. Sedikit terdiam, tapi hidup terlalu membuatmu pintar untuk mengalihkan pembicaraan. Mereka terkecoh, tapi kamu mengecohkan diri sendiri. Ada senyum bangga yang menunjukan betapa hebat pengalaman yang memampukanmu menolak semua pemikiran, menolak bicara lebih terbuka, dan menolak dirimu sendiri. Bermain-main pada kata-kata yang kau yakini akan menipu mereka? Atau sebenarnya untuk menipu dirimu sendiri? Kau tertawa sambil menggelengkan kepala. Percaya tidak percaya, kemudian kau akan berdiri pada sudut gelap itu. Setelah hari itu.

Baiklah, anggap saja semua akan berlalu secepat yang kamu yakini. Hidup akan kembali normal dan jauh dari apa yang kamu anggap tidak ada itu. Kamu akan bersenang-senang, akan menyapa dengan riang, dan akan tersenyum pada pagi. Akan ada nafas baru yang membuatmu percaya bahwa hidup barumu telah tiba dan siap menyambut. Bersorak riang, dan kemudian berpesta pada malam. Lalu… lalu… kamu lupa bahwa malam adalah waktu tenang, bukan seharusnya untuk bersenang-senang. Sedikit ‘klik’ saat akhirnya kamu sadar tidak seharunya berpesta diwaktu malam. Dan kemudian terdiam, ketika tampak di keramaian malam itu datang sesuatu yang seharusnya kamu hadapi saat tidur. Menyergap. Kemudian kamu megap-megap.

Mendadak pertanyaan-pertanyaan dimasa lampau menyerbu. Kamu memaki sekeras mungkin dan tidak mau alasan lagi. Kamu butuh tempat kosong, tapi tidak menemukannya secepat yang kau mau. Ada kemarahan memeluk jiwa, menjadikanmu terhenyuk seketika. Ah, kamu mengeluh dengan kesal. Lagi-lagi bermain hanya pada kata ‘tidak mungkin’, ‘tidak percaya’, dan ‘apa-apaan ini’. Setelah itu menepi pada malam-malam berkepanjangan, mengikuti sinar seadanya yang kamu pikir akan menunjukan jalan yang selama ini kamu anggap tidak ada. Kamu melihat ‘itu’ tapi tidak mau berjalan kesitu. Mendadak kamu menggigil. Kamu lari tanpa jeda.

“ Hobimu apa sih? “
“ Mencari cahaya.”
“ Untuk hidup? “
“ Ya ”
“ Sudah kamu temukan? “
“ Belum “
“ Ah, kamu menyangkal “
“ Hahahaha.”
“ Hahahaha.”


BASI.

Jumat, 05 September 2014

Menemukan



Kamu pasti menemukan aku. Tidak pernah jauh-jauh aku pergi, dan tidak bermaksud apa-apa. Hanya berlari-lari kecil yang tadinya aku harap bisa membuatku sedikit bernafas. Bukankah sebelumnya kau sering bertanya, kemana aku akan pergi ketika aku ingin menjadi si penikmat diam? Seharusnya kau tidak perlu bertanya, karena aku tau kau akan menemukan jalan ke tempatku. Sebenarnya ini terlalu mudah, dan aku bukan ingin bermain teka-teki. Nyatanya aku hanya ingin ditemukan, tidak berpura-pura berlari karena aku memang suka berlari. Salahnya, aku sering tidak sadar ingin lari kemana tapi ternyata hanya ke tempat itu-itu saja. Bukankah seharusnya itu hal yang mudah? Dalam pedoman hidupmu, jauh dari kata ‘sulit’ bukan? Maka kau pasti akan bisa dan tentu saja menemukan aku.

Rasanya indah sekali menjadi yang ditemukan, seolah akhirnya aku juga menemukan orang yang mau membawaku pulang. Karena ketika aku menikmati diam, aku tidak pernah sekalipun peduli pada langkah yang aku ambil. Aku kesana kemari, lalu terduduk, lalu kesana, lalu entah kemana lagi. Kau sering menggelengkan kepalamu ketika menemukan aku, ada kata lelah disitu dan kemudian kau hanya ikut terduduk disampingku. Aku mau pulang saat itu juga, kau tertawa gemas seolah betapa teganya aku tidak membiarkan jeda untuk istirahat. Aku mana sempat terfikir kesitu, yang aku tau akan ada yang membawaku pulang. Aku mau pulang. Lama berlari, melangkah, dan pergi kesana kemari membuatku ingin segera pulang. Lalu kau beranjak, kemudian mengulurkan tangan meraih jariku. “ Mari pulang,” katamu kemudian menggandeng lenganku dan membawanya pulang. Akhirnya aku pulang.

Berkali-kali kau marah karena aku sering pergi begitu saja, tidak pernah mau menetap pada satu tempat pada waktu yang lama. Aku nyengir. Kau menggerutu. Aku tertawa kecil. Kau ngomel besar. Aku diam. Kau meraih lenganku dan menariku didalam pelukanmu. Disitu kau berbisik betapa lelahnya mencariku yang sering menghilang, dan betapa kau begitu mempertanyakan mengapa bisa begitu mudahnya aku melangkah pergi, berlari. Aku diam. Ada helaan nafas seolah kau coba mengerti, lalu begitu saja melepaskanku. Aku pergi. Berlari-lari bersama diam yang kini adalah penghangatku. Kau diam saja tanpa mengejar. Aku berlari semakin jauh, tidak peduli bagaimana nanti aku akan kehabisan nafas. Anggap saja aku lupa rasanya bernafas. Aku berlari, terduduk lagi, dan lalu berlari lagi.

Nanti, kalau lelah datang aku tidak perlu takut karena kamu akan datang. Menemukanku lagi. Mengantarku pulang.
Kalau ternyata tidak datang?

Baiklah, anggap saja aku punah. Selesai.