Kamu boleh menunggu terlalu lama,
tapi jangan gunakan sumpahmu untuk menungguku sampai mati. Aku tersiksa pada
dirimu yang menantiku. Bukan bibirmu yang mengatakan akan menungguku, tapi
matamu jelas berkata-kata seperti itu. Penantianmu sampai mati, jelas itu yang
benar-benar kau mau. Aku menyesalinya, untuk sekedar kau tahu. Aku menyesali
sumpah lamaku. Sumpah bahwa aku tidak akan pernah menikah seumur hidupku, dan
akan mati diwaktu disaat apa yang aku aku inginkan tercapai sudah. Sayangnya,
sumpah itu ada sebelum akhirnya aku bertemu denganmu, dengan mata yang
bersumpah akan menungguku diakhir hidupmu sebelum memejamkan mata dan
benar-benar pergi. Tidak ada daya lagi untuk membangunkanmu. Aku bukan Tuhan.
Aku hanya Bhisma. Aku bersumpah menyesali semua sumpahku. Kalau saja waktu itu
tidak bertemu dengan kamu, kalau saja saat itu kau tidak bersujud memohon-mohon
padaku, dan kalau saja benda tajam itu tidak tertarik begitu saja menghabisi
nyawamu dalam hitungan detik, semuanya pasti berbeda. Ribuan maaf macam apa yang
bisa aku ungkapkan? Sedangkan sumpah selalu menjadi tembok kuat untuk bertahan.
Kumohon, tenanglah kau disana, lupakan sumpahmu. Aku tersiksa sekaligus
kehilangan. Butuh berapa lama agar aku ikut mati dan bertemu dengan kamu?
Sumpahku masih bertengger kuat disana. Aku mohon Amba. Sumpah dalam tatap mata
adalah penyiksaan terberatku. Tenanglah disana. Atau, tunggulah aku disana
tanpa harus menghitung waktu.
( Terinspirasi oleh cerita wayang Bhisma dan Amba dalam kisah Mahabharata )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar