Kau boleh pesimis, tapi bukan
berarti kau menjadi sinis,
Kau boleh mengiris, tapi tidak harus mendesis
Kau boleh menangis, hanya jangan pernah dramatis
Kau diharuskan mengais, tapi bukan menjadi pengemis.
Kau boleh mengiris, tapi tidak harus mendesis
Kau boleh menangis, hanya jangan pernah dramatis
Kau diharuskan mengais, tapi bukan menjadi pengemis.
===========================================================
Dalam Rindu Banowati...
Dalam langkah anggunnya, wanita
dengan keanggunan tanpa ragu menangis tersedu memandang bulan yang selalu
tampak sendu. Berharap waktu kan mudah ia jelajahi tanpa rasa gundah yang
membelokan langkahnya. Ini bukan tentang bagaimana seharusnya ia mengabdi, ini
tentang bagaimana hatinya yang sulit melampaui batas rindu kepada purnama yang
tak pernah begitu saja berlalu nyaris di setiap malam. Banowati bukan ingin
mengeluh, tapi hatinya jelas bersenandung luruh. Ia jelas-jelas merindu, tapi
purnama selalu didekati kabut, dan Banowati tak pernah mampu menyingkap kabut
karena untuk melewati pagar berpenghalang tak terkunci itu saja ia tidak pernah
sanggup.
Ada kesadaran yang Banowati sadari,
nyata yang selalu merangkul dirinya dan seolah-olah membangunkan dari rasa
lelap bahwa ia tidak boleh lama-lama menetapkan rindu. Menyadari atau tidak
menyadari tak pernah ia benar-benar pastikan. Pernah ada rasa gigil yang
Banowati ingin segera lepas, tapi sungguh purnama yang tampak dekat itu seperti
selalu melingkup pada asa atau sepi kala sunyi disetiap malam. Purnama berkabut
diatas sana adalah hal yang selalu Banowati nantikan, sekedar untuk
diratapi dan tanpa di berikan isyarat atau bahkan tersentuh dengan tangan
halus selembut kapas. Ia mengagumi purnama dengan setia pengabdian yang tak
pernah boleh terucap.
Ikatan yang tertanam pada langkah
Banowati bukan penghalang yang seharusnya melenyapkan mimpi, karena sekuat
apapun itu masih dapat terlepas atau sekedar dibiarkan tergeletak dan
dienyahkan. Namun ia bukan pengingkar janji, bukan pula ingin menjadi penanam
kebencian. Situasi seolah tidak pernah mau berpihak padanya, dan pilihan selalu
menjadi sebuah dilema yang menggiringnya untuk menetapkan langkah yang sering
ia bilang “salah”. Ia hanya mampu terduduk seperti meratapi, menggenggam janji
nyata yang tidak boleh diingkarinya, dan bertumpu pada prinsip yang mau tidak
mau dipertahankan. Menjadi dewi seorang Prabu yang hanya mampu memandangi
rembulan dari singgasananya. Dari tempatnya yang paling gelap. Sunyi.
Pernah ia mencoba mencari-cari,
menggali dan menemukan apa yang sebenarnya hilang, tapi sungguh jawaban tidak
pernah mau begitu saja datang. Ia benar-benar mencoba, untuk menetap pada
kenyataan yang tak diinginkan. Bukankah hidup tentang nyata yang harus
dihadapi? Itu berkali-kali yang selalu ia tekankan, walau jelas-jelas tampak
air matanya menggenang di pelipis matanya yang indah seperti teratai yang
menggenang pada air tenang tanpa suara atau hanya sekedar bisikan. Sungguh
bukan ingin menyerah atau pasrah pada janji yang sudah terlanjur terucap. Ia
hanya sadar diri , lalu begitu saja berdiam diri. Banowati berdiri pada kursi
megah kenyataan, bukan ingin menangis, tapi lebih ingin memahami diri.
Rasanya begitu saja orang merindu,
menelan pahit tertahan tanpa penawar,
dan berbalik pada kenangan masa lalu,
saat menjadi bintang mendampingi purnama.
menelan pahit tertahan tanpa penawar,
dan berbalik pada kenangan masa lalu,
saat menjadi bintang mendampingi purnama.
Bukan menangisi atau menyesali,
tapi rindu menyergap begitu saja,
dan ia bukan lagi bintang,
hanya jelmaan si penikmat purnama.
tapi rindu menyergap begitu saja,
dan ia bukan lagi bintang,
hanya jelmaan si penikmat purnama.
Dan hanya purnama yang tertanam,
yang terang tanpa bersinar,
tapi dalam tersimpan,
yang hanya ada dalam gelap.
yang terang tanpa bersinar,
tapi dalam tersimpan,
yang hanya ada dalam gelap.
Tidak ada yang melarangnya
merindukan purnama,
tapi kenyataan menahannya untuk terucap,
menderai bagai debu pasir tak tergenggam,
tersimpan sebagai purnama.
tapi kenyataan menahannya untuk terucap,
menderai bagai debu pasir tak tergenggam,
tersimpan sebagai purnama.
Sebagai Arjuna.