Rabu, 09 Juli 2014

Jangan Kau Terlalu Menutup Matamu. Berdoalah. ( PEMILU 2014 )

Surat Suara Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2014


Jangan kau terlalu menutup matamu pada hal yang sebelumnya sangat kau tidak sukai. Sekedar saran. Biasanya, sebagai manusia normal kita memiliki berbagai macan hal yang sangat kita sukai dan juga ribuan alasan kita tidak menyukai sesuatu. Semua memiliki latarbelakang apa yang menjadikan kita menjadi menyukainya atau tidak menyukainya. Ada bermacam-macam. Seringnya, kita hanya terlalu fokus pada apa yang kita sukai, dan untuk sekedar menoleh pada hal yang kita tidak sukai menjadi suatu pergerakan yang malas. Anggap saja, ketika kita menyukai sesuatu akan ada rasa kesetiaan untuk tidak berpaling. Tapi, sadarkah mereka bahwa seringkali hal yang kita tidak sukai bisa jadi adalah hal yang baik, atau kalaupun buruk, bukankah kita masih punya doa?

Mari kita ambil contoh dari pemilu 2014 yang saat sedang maraknya di Indonesia, khususnya ketika pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Siapa yang sangka bahwa pemilu tahun ini bisa jadi sangat begitu mencengangkan dan ‘ramai’ dalam banyak hal. Semua punya idola masing-masing, punya alasan, dan terkadang malah beberapa dari mereka menyukai salah satu calon karena ada hubungan keluarga, saudara, dan kerabat dekat, atau terkadang malah ada juga yang berpihak karena ikut-ikutan. Ada derai semangat menggebu dari sanubari untuk mendukung apa yang kita sukai yang tentunya kalau dalam hal ini adalah apa yang kita pilih untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden nantinya. Seru sekali bukan yang seringkali kita lihat di media? Begitu marak dan masing-masing memiliki alasan yang kelihatannya begitu kuat mengapa mereka mendukung salah satu calon. Tentu saja itu semua ada baik dan buruknya.

Mari bahas dari baiknya. Pemilu menandakan akan adanya jaman perubahan baru, yang tentunya kita harap akan menjadi masa yang lebih baik dari sisi apapun. Semua rasa ‘kehilangan’ dari apa yang kita miliki dahulu bisa pelan-pelan kita salurkan kepada pemimpin yang baru tersebut, dengan harapan akan ada ‘telinga’ baru yang mau mendengar. Kebanyakan dari mereka selalu memiliki harapan baru dengan adanya pemilu, berharap juga kesemuan cepat berakhir dan tidak lagi tertunda begitu lama. Kehidupan seolah menjadi lebih semangat, menjadi menggebu-gebu menantikan hari yang baru. Sorak sorai para pendukung menegaskan bahwa mereka ingin kehidupan yang baru, ingin kemajuan yang lebih meningjat, dan ingin semuanya menjadi berarti. “ Mari dukung pemilu 2014, dan tidak golput demi perubahan Indonesia yang baru,” Itu adalah ajakan demi perubahan dari bibir yang penuh impian.

Sayangnya, hal ini juga tidak jauh dari berbagai macam sisi negatif dan buruknya. Terlalu ‘semangat’ seringkali menjadi hal yang sangat menyayangkan untuk di simak. Banyak dari para pendukung salah satu calon berusaha sebisa mungkin agar semua orang tahu bahwa pilihannya adalah benar, bahwa pilihannya adalah idola untuk masa depan, dan untuk calon yang satunya lagi bukanlah pilihan yang baik untuk di dukung. Entah harus terhitung berapa cara untuk saling menjatuhkan, untuk saling mengingatkan kepada masyarakat bahwa calon yang tidak mereka dukung memiliki masa lalu yang buruk, dan ada juga yang terkesan seolah haus kekuasaan. Begitu banyak berita di edarkan melalui media betapa cacat, dan tidak ‘bersih’nya calon dari masing-masing dari mereka yang tidak mereka dukung. Fakta dan pendapat sudah sangat sulit dibedakan. Semuanya buta pada ‘cinta’ yang sudah mereka tanam. Bisa dikatakan, hidup mereka sudah menjadi sangat subjektif. Cacian, makian, pujian, ataupun penghargaan sudah tidak bisa bandingkan lagi. Mereka bisa begitu saja mencaci, memaki, memuji atau bahkan memberikan penghargaan.

Apapun itu, keputusan akan hadir memberi jawaban. Derai haru, senang, marah, dan muak akan menyaru jadi satu tanpa bisa di lihat lebih dalam lagi. Mereka yang merasa menang tentunya akan sangat bangga,seolah apa yang mereka cintai memang pantas untuk menjadi yang nomor satu. Kemudian beberapa dari mereka yang merasa kalah, akan menatap sinis seolah merasa bahwa ada kesalahan dalam keputusan. “ Menerima “ bukan hal yang mudah untuk mereka yang kalah. Seringkali bahkan mereka berfikir, “ mau jadi apa negeri ini jika di pimpin oleh pemimpin seperti itu? “, “ hancurlah negeri ini dengan pemimpin seperti itu”. Dan mereka yang merasa menang akan berseru bahwa negeri ini sudah siap untuk kehidupan yang lebih baik, dan harapan mereka seolah sudah didepan mata. Namun, bukankah pada kenyataannya kita masih belum tau apa yang akan terjadi di masa depan? Apa yang menang selalu menjadi yang terbaik? Dan yang kalah memang pantas tersingkir karena bukan pilihan yang baik? Coba didalami.

Intinya, suatu penerimaan yang baik adalah poin penting disini. Menjadi di sisi menang atau kalah bukan hal yang penting. Kehidupan negeri ini adalah milik bersama, dan tentunya dalam genggam bersama. Menutup mata pada hal yang tidak kita sukai bukan hal yang menguntungkan. Buka MATA anda pada semua hal. Menyesali dan memaki hanyalah kesombongan berupa angan. Bukankah masing-masing dari kita masih bisa berdoa? Apapun hasilnya, apapun jawabannya, dan siapapun yang terpilih nantinya, kita masih bisa sama-sama berdoa. Terkadang kita terlalu berfikir jauh, dan lupa bahwa kita masih bisa berdoa, masih bisa berharap dalam diam dari hati yang selalu berdoa untuk kebaikan. Kalaupun nantinya yang tampak adalah hal yang tidak baik, bukankah berdoa dapat membantu kita untuk membenarkan jalan yang salah? Kau, kita, dan mereka selalu punya harapan dalam doa, dan tindakanmu untuk membuka mata lebih luas akan menguatkan doa. Berdoalah.


Nb : untuk mereka yang mencintai perubahan, tapi tidak pernah ‘menutup mata’.
note : gambar didapatkan dari google

Selasa, 08 Juli 2014

Sinta Menanti...

DEWI SINTA


Tidak pernahkah kau lihat aku duhai Rama,
menanti sabar disini,
dalam iming-iming kebahagiaan,
tanpa cacat keindahan,
tanpa goresan pada kulit,
tanpa harus menata dengan lelah.

Aku terlalu lama berdiri pada taman keindahan,
tapi semuanya tetap semu tanpa kamu,
aku seperti buta pada seluruh pandangan,
karena yang aku impikan hanya matamu,
dan berharap agar penantian ini cepat berakhir.
Aku jelas memendam rindu begitu dalam.

Mengapa harus begitu lama,
mengapa harus begitu terasa sepi,
mengapa rembulan terus kelabu.
Aku sudah mematung begitu lama disini.
Kau dimana?
Aku tidak pernah tahu.
mencariku kah?
Aku selalu berharap begitu.

Cepatlah datang, Rama.
Genggam tanganku dan segera kau bawa aku pergi,
Lihatlah, betapa aku nyaris kekeringan disini.
Aku dehidrasi.
Bagaimana mungkin semua bisa terasa begitu semu?
Sedang penantianku tak lalu-lalu.
Kau begitu lama.

Minggu, 06 Juli 2014

SUMPAH (II)



Lesmana



Aku bersumpah, dan itu akan memperkuatku untuk tidak melanggarnya. Hidup adalah tentang kepercayaan. Sumpahku adalah pendirianku, yang nantinya akan mendarah daging dalam tubuh dan aliran darahku. Percaya atau tidak, ini hanya masalah waktu. Aku benci bersumpah, tapi aku harus melakukannya. Mendapatkan kepercayaan adalah suatu kebutuhan dalam hidup, dan itu adalah yang seringkali mengekalkan untuk melupakan keinginan manusia, khususnya pria seperti seperti aku. Hal kecil membuatku harus bersumpah, demi hilangnya suatu prasangka yang buruk. Jangan kau bertanya lagi duhai Sinta, aku sudah bersumpah. Jangan lagi kau menangisi apa yang baru aku ikrarkan. Ketidakpercayaanmu membuatku dirundung ketakutan pada hidup. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadinya nantinya. Sumpah ini adalah bukti nyataku dari bibir yang terucap, yang nantinya akan menahanku pada masa depan yang sama sekali tidak ku ketahui. Sumpah adalah ikatan yang seharusnya tidak boleh terputus, dan oleh karena itu aku bersumpah. Mereka boleh berduka, atau kau juga ikut berduka, tapi hatiku jelas lebih berduka. Lidah sudah bersuara, bumi sudah mendengarkan, dan Sang Pencipta sudah mencatat. Biar sumpah ini memendam dalam seluruh jiwa dan raga. Sampai matipun aku akan tetap bertahan pada sumpah ini. Pada sumpah yang aku tau artinya adalah kesepian. Aku tidak akan pernah tau masa depan, tapi aku akan selalu tau sumpahku. Kalau nanti aku melanggar, sungguh hanya biarkan sang Pencipta yang menghukumku. Jangan kau tatapi aku dengan rasa menyesalmu, duhai Sinta. Melihatmu yang panik saat itu, melihat ucapan ketidakpercayaanmu, melihat bahwa seorang titisan sang Dewi begitu ragu pada amanah perlindungan yang harus kuberikan, maka dari situlah aku bersumpah. Aku tidak akan pernah menikah. Bukan karenamu, tapi karena tatapan matamu yang walaupun dalam sekejap tapi begitu terlihat. Kau tidak benar-benar percaya padaku. Aku sudah bersumpah. Kini,  biarkan aku yang nantinya akan terhanyut dalam perang besar yang selalu diderai rasa sepi.

( Terinspirasi dari  sumpah Lesmana untuk Sinta )

Jumat, 04 Juli 2014

SUMPAH

Kamu boleh menunggu terlalu lama, tapi jangan gunakan sumpahmu untuk menungguku sampai mati. Aku tersiksa pada dirimu yang menantiku. Bukan bibirmu yang mengatakan akan menungguku, tapi matamu jelas berkata-kata seperti itu. Penantianmu sampai mati, jelas itu yang benar-benar kau mau. Aku menyesalinya, untuk sekedar kau tahu. Aku menyesali sumpah lamaku. Sumpah bahwa aku tidak akan pernah menikah seumur hidupku, dan akan mati diwaktu disaat apa yang aku aku inginkan tercapai sudah. Sayangnya, sumpah itu ada sebelum akhirnya aku bertemu denganmu, dengan mata yang bersumpah akan menungguku diakhir hidupmu sebelum memejamkan mata dan benar-benar pergi. Tidak ada daya lagi untuk membangunkanmu. Aku bukan Tuhan. Aku hanya Bhisma. Aku bersumpah menyesali semua sumpahku. Kalau saja waktu itu tidak bertemu dengan kamu, kalau saja saat itu kau tidak bersujud memohon-mohon padaku, dan kalau saja benda tajam itu tidak tertarik begitu saja menghabisi nyawamu dalam hitungan detik, semuanya pasti berbeda. Ribuan maaf macam apa yang bisa aku ungkapkan? Sedangkan sumpah selalu menjadi tembok kuat untuk bertahan. Kumohon, tenanglah kau disana, lupakan sumpahmu. Aku tersiksa sekaligus kehilangan. Butuh berapa lama agar aku ikut mati dan bertemu dengan kamu? Sumpahku masih bertengger kuat disana. Aku mohon Amba. Sumpah dalam tatap mata adalah penyiksaan terberatku. Tenanglah disana. Atau, tunggulah aku disana tanpa harus menghitung waktu.

( Terinspirasi oleh cerita wayang Bhisma dan Amba dalam kisah Mahabharata )