Minggu, 08 September 2013

Tentang Kata "Menjelang"

dan aku melihat matahari berwarna jingga,
memeluk keindahannya pada pagi,
yang dikelilingi separuh awan merah cerah.
tersenyum menyambut hari yang akan dimulai,
lalu melambai memberikan cahaya tak menyilaukannya. 


Ia tak akan lama-lama seperti itu,
karena waktunya telah ditentukan,
dan kedatangannya bukan ingin memberikan kehangatan,
tapi kelembutan cahaya.


seperti senja menjelang sore. 
Penikmatnya seringkali adalah penikmat gelap,
yang bersandar pada sunyi,
yang mencintai terang tanpa cahaya
dan menghayati semesta,
tentang kata "menjelang"

Srikandi Berkelana (part 2)


Srikandi berkelana,
kali ini dengan tujuan berbeda,
Arjunanya jauh sudah,
dan ikatan apapun,
tak akan mempertemukan hati sekalipun.

langkahnya seringkali terlalu cepat,
terlalu menggebu,
terlalu berkeinginan kuat,
yang tanpa ia sadari selalu kembali ke tempat yang sama,
tempat yang paling sunyi.

sempat ia terhenti untuk rehat sejenak,
mencari keteduhan dibawah rindang pohon,
berbisik pelan tentang lelah,
dan bersandar pada batang kayu tipis,
hanya sekedar membuatnya melepas penat.

bergumam tentang mimpi masa lalu,
Srikandi tersenyum miris,
menyelusuri memori-memori yang berkabut,
dan bergurau tentang mudahnya melupakan,
lalu Srikandi jatuh tertidur pada lelahnya.

busur dan anak panahnya pun terhempas begitu saja,
tak sanggup lagi ia memikulnya,
begitu berat menahan panah yang tak pernah dilepas,
tidurnya seperti mengembalikan memori,
dan Srikandi terbangun dalam purnama selimut hitam.

langkah pun ia lanjutkan,
menyadari seribu kegelapan,
mendapati betapa ia hanya kembali pada rindu,
yang sering menjelma menjadi nafas,
dan menidurkan pada mimpi.

bangkit...bangkit...
Srikandi hanya ingin terbangun pada nyala terang,
mengubur semua anak panahnya,
dan berjalan dengan sari penguatnya,
mencoba berlari kencang.
kali ini harus pasti.

Waktu tak Ijinkan Ia Pergi

waktu tak ijinkan ia pergi,
dan semena-mena menarik ulur rasa,
menjadikannya seribu bisu,
untuk langkah selanjutnya.

sesekali bertanya pada malam,
mengapa begitu banyak makna,
sedang pagi seringkali hanya satu,
selalu tentang kepastian cahaya.

ia seringkali memeluk senja,
bernyanyi-nyanyi tentang kehilangan,
mengapa senja begitu cepat,
begitu sulit dipertahankan.

ada rona wajah berharap dimatanya,
entah menanti,
entah ingin berlari,
yang pasti ingin berlalu.

terpaksa menghanyutkan diri dalam diam,
menanti-nanti,
menebak-nebak,
menahan tentang keinginan

Jauhnya Purnama


Sambil masih terus memegangi kepalanya ia seringkali menggumamkan tentang purnama. Melirihkan lagu-lagu sendu tentang purnama yang sedang diselimuti kabut gelap. Menatapi terang yang bukan bercahaya. Seperti melihat kesenduan kelam yang sunyi tak bersuara. Mencoba menghitung-hitung waktu agar purnama tak cepat pergi. Meratapi apa yang sering ia sebut sebagai 'pergi begitu lama'. Ia begitu tak inginnya untuk kehilangan, mencoba begitu keras menggenggam purnama yang tak pernah tersentuh. Namun, lagi-lagi hanya udara dingin yang bisa ia rasakan. Bukit setinggi apapun tak mampu membawanya menggenggam purnama, hanya membawanya pada rasa beku yang menjelma menjadi udara.

Ia memijati kepalanya beberapa kali, berharap apa yang ia rasakan saat itu cepat hilang. Pusing. Menatap purnama tak akan sempurna dengan rasa sakit dikepala. Seperti beban yang tak mau hilang. Dan ia benci dengan apa yang disebut 'beban' karena itu selalu berat, sedangkan extra tenaganya selalu hilang perlahan setiap purnama. Setiap menggumamkan tentang purnama ia selalu takut kehilangan, dan 'pusing' itu juga tak mau enyah. Tenaganya akan benar-benar habis saat purnama hilang. Ia seringkali merinding ketakutan setiap mengingat kata 'hilang', dan sesegera mungkin berlari meninggalkan purnama. Berlindung pada suatu teduh sambil menangisi purnama. Tapi kali ini ia bertahan. Membiarkan apa yang dirasa dan tenaganya hilang diserap purnama. Bertahan pada rasa menggigil yang hebat, dan berkali-kali menaikan tangannya mencoba menangkap purnama.Tetap saja sang purnama bertahan pada singgasananya, berdiam pada gelap tanpa harapan.

Ia tetap terduduk walau malam sudah larut. Sebelah tangannya masih mencoba untuk menggapai purnama. Perlahan mulai merasa lelah, namun tak urung menurunkan tangannya. Matanya kemudian terlelap pada malam walau purnama masih memandanginya sembari pergi. Dan lalu ia terbangun dengan terik cahaya menyilaukan. Kemudian menangis untuk kesekian kali. Menyesali purnama yang tak pernah kembali cepat-cepat.

Srikandi Berkelana

Srikandi berkelana,
menyusuri setiap jejak yang Arjuna tapaki.
mencari tempatnya berdiam diri,
dan sebegitu mudahnya menikmati alam.

Pernah ia mendapati Arjuna terdiam hikmat,
dan kelegaan mendapati jiwanya melihat junjungannya.
tak berniat untuk mengganggunya,
walau rindu sudah tak terbendung.
Namun diam selalu menjadi kekuatan paling hebat.

Lalu Arjuna menghilang lagi,
berkelana kembali.
Dan ia selalu kehilangan arah,
karena langkah Arjuna seperti angin.

Pernah suatu kali ingin mengguggah Arjunanya,
menyiapkan panah untuk mengusik,
tapi rindu lagi-lagi menahan.
mendiamkannya pada kegelapan sunyi.
dan Arjuna tak akan pernah tau panah Srikandi.

Srikandi berkelana lagi,
kehilangan jejak Arjuna kembali
.