Selasa, 20 Agustus 2013

Menikmati Senja

Sambil masih mendengar deburan ombak, ia terus memandangi senja. Terlarut dalam keindahan yang ia sebut semesta, dan sesekali matanya nyaris terpejam karena terkantuk-kantuk. Senja selalu menghangatkannya tanpa perlu mendekap erat, membuainya pada keindahan terbatasi waktu yang tak pernah mau datang lama-lama. Setengah hatinya ingin tertidur, namun sisa hatinya yang lain tak ingin begitu saja melewatkan senja. Jadilah ia manusia penikmat senja yang terduduk dengan mata menahan kantuk.
angin masih bertiup, dan senja semakin tenggelam. Ia masih terduduk disitu, menahan kantuknya sambil sesekali bersenandung tentang rindu yang akan datang usai itu. Menanti senja tak selalu terjawab dengan kedatangannya. Senja tak pernah berjanji untuk datang, tapi selalu berjanji untuk selalu tampak indah. Dan ia menikmati penantiannya itu. Demi senja yang selalu akan tampak indah saat datang.


Saat senja sudah tergantikan malam, ia akan beranjak dari duduknya. Menapaki pasir paling dekat dengan laut secara perlahan, dan menggigil oleh selimut angin malam. Suara deburan ombak sering memanggilnya untuk ikut bersamanya menjelajahi samudera. Namun udara terlalu dingin saat itu, dan ia memang sedang tak ingin bermain-main bersama air. Raganya masih terlalu lemah bermain air dalam gelap, dan ia tak ingin terpejam begitu saja memeluk kehangatan yang menjanjikan. Karena esok ia berharap senja kan membuainya lagi, dan saat itu ia akan benar-benar terlelap.

Sabtu, 17 Agustus 2013

Gelap dan Kabut Putih


pernah suatu hari kau bertanya pada apa yang kau sebut gelap, mencari suatu jawaban dari terang yang selalu mereka impikan. Untuk mereka yang
seringkali takut pada kabut dimalam hari, dan mati-matian menyalakan 
senter hanya untuk menembus kabut yang tak pernah bermaksud buruk. Dan 
kau bertanya kembali, tentang kabut berwarna putih yang seringkali 
ditimpa cahaya terang oleh mereka yang menganggap kabut sebagai 
penghalang. Kau terduduk merenung sembari menanam ribuan pertanyaan, dan 
itu tidak pernah jauh-jauh dari apa yang kau sebut sebagai gelap dan 
mengapa harus disebut dengan gelap.



Pernah sedikit kau memaknai gelap sebagai hal yang suram, karena dari 
gelap kita sering tak tahu arah. Namanya juga gelap, ya hitam. 
Begitukan? lalu kau tersenyum. Bertanya lagi tentang gelap, dan tentang 
kabut putih yang sesekali datang justru tak memberikan penerangan 
apapun. Namun dari situ kau belajar, ternyata gelap bisa begitu 
kompaknya dengan kabut putih, dan itu memberikan suatu arti hebat 
darimu. Tentang apa yang sering mereka pertentangkan mengenai 'hitam' 
nya sebuah gelap tidak akan mungkin bersatu dengan 'putih'nya kabut.



Kau tak mengerti lagi. Terdiam lagi. Bertanya lagi. Kau masih seringkali 
terduduk dan mencoba berbincang dengan gelap sembari bertanya dengan 
seribu pertanyaan berartimu. Tak terhitung lagi berapa kali kau menghela 
nafas, terlelap pada gelap yang sampai saat ini belum kau mengerti. 
Bermain-main pada alam adalah keindahan yang selalu menjadi mimpimu, 
tapi bermain dalam gelap? kau selalu mempertanyakan itu. Karena alam 
seringkali terungkap saat ada terang yang bersinar begitu luas 
menyelimuti alam. Lalu bagaimana keindahan bisa dirasakan saat gelap? 
lagi-lagi kau hanya bisa bertanya.



Lalu kau bertanya kembali tentang kabut putih saat gelap sedang 
bermuara. Lagi-lagi kau merasa tak mampu menemukan jawabnya. "Bagaimana 
mungkin aku bisa menikmati gelap sedang kabut putih memeluk erat sang 
gelap?", kau bertanya dan menggigil hebat usai itu, lalu kau berlalu 
mengambil berlapis-lapis baju hangat dan selimut untuk pelindungmu dari 
rasa yang kau sebut dingin. Berbaring pada alas karpet berbulu dan 
tersayu-sayu hingga mata terpejam. Lagi-lagi semuanya gelap, namun tidak 
lagi berkabut.