Jumat, 07 September 2012

'Back to Normal' itu aneh

Akhirnya kita mulai dapat berbincang-bincang lagi,
mulai membicarakan banyak hal yang dulu juga sering kita bicarakan.
Tertawa seperti biasa.
Aku baru benar-benar tau ini yang namanya kembali ke normal.
Ternyata rasanya aneh.
Dulu aku pernah berharap seperti ini,
tapi saat kesampaian, aku malah sedih.
Mungkin ini hanya awal dari rasanya kembali ke normal.
Yah.. mungkin memang harus begini.

Dulu aku terlalu bermain-main dengan waktu.
Saat akhirnya nyala terang itu hilang,
aku malah termangu sepi dalam gelap.
Untaian kata yang tersusun dimasa lalu,
sudah tak menjadi guna.
Semuanya hanya akan menjadi fosil,
yang mungkin atau tak mungkin terkuak.
Maka tersembunyilah fosil itu,
dalam endapan tanah terdalam.

Yang aku tahu,
semuanya butuh proses.
Ya, aku sangat membutuhkan pemahaman.
Proses bagaimanakah yang seharusnya?
Hanya waktu yang bisa menjawab.

Menjalani memang tak semudah bicara.
Pemikiran-pemikiran menjadi tak logis.
Haruskah ada yang namanya 'Back to Normal?'
Sedang itu membuatnya menjadi tidak rasional.
Lagi-lagi aku butuh waktu yang menjawab.
Lagi-lagi proses, lagi-lagi pandangan.
Aku menunggu.
Menunggu waktu.
Sedikit mensesalkan 'Back to Normal'.

Kamis, 06 September 2012

Haruskah Aku Terbang atau Menjejaki Bumi?



Nyatanya semuanya tidak semudah seperti apa yang dipikirkan. Saat aku sudah berlama-lama terduduk dan terbang di atas awan, akhirnya aku mulai menjajaki bumi, dan melangkah diatasnya. Semuanya terasa berbeda dan tak akan pernah ada yang sama. Tertawa pun menjadi sangat berbeda, dan segala kenangan seperti kembali dan menepuk pundakku. Aku tak ingin menoleh pada tepukan itu, tapi menahan rasa rindu akan masa lalu adalah sulit, dan itu membuatku menoleh, bahkan sampai membalikan badan. Aku sempat terdiam menatapnya, sedang peganganku hanya secangkir kopi yang isinya mau habis. Kali ini aku benar-benar terlarut, dan menyesali keputusanku turun dari awan untuk mencoba menjejaki bumi entah untuk keberapa kalinya.


Aku sedikit kekurangan nafas. Menyesali yang lalu adalah obat sesak nafas yang paling hebat, dan aku hanya butuh terbang untuk mencari nafas tambahan. Tapi kali ini 'mereka' menahanku. Rindu-rindu yang bergelombang seperti ombak besar telah menghanyutkanku, dan menarik seenaknya seolah aku harus ikut dengan mereka. Aku megap-megap dan tak mampu terbang lagi. Aku benar-benar terbawa arus, sedang kelihaian berenang tak akan berarti saat ombak sudah menerjang. Aku hanyut.


Begitu lama aku tenggelam dan berusaha untuk tak membuka mata pada air laut yang perih. Mencoba untuk naik ke permukaan sebisaku dengan mata terpejam. Tapi itu semua sia-sia. Aku harus membuka mata dan merasakan perihnya air laut masuk ke dalam mataku. Aku harus melihat ke atas, dan berusaha sebisaku mencapai permukaan dengan mata terbuka. Aku masih megap-megap. Bernafas yang benar masih sangat sulit, dan gelembung-gelembung air yang keluar dari mulutku sama sekali tak membantu, tapi aku yakin perlahan-lahan aku akan naik ke permukaan. Ya, cahaya itu sudah terlihat. Sinar matahari sudah masuk ke dalam air dan menyentuh kulitku. Aku pun sampai pada permukaan laut dan mendapati rakit kecil untuk kunaiki.


Namun, lagi-lagi aku di beri pilihan yang sulit. Haruskah aku mencari daratan, atau terbang lagi ke atas? sedang dua-duanya bisa mengeringkan tubuhku yang basah kuyup terkena air laut. Dengan cara yang kontras. Terbang menjauhi bumi dan bermain dengan mimpi, atau mencapai daratan yang jauh dan tanpa kejelasan tapi menjanjikan keindahan dan perubahan hebat?